Ini Ayah, Nak

Gavra menekuk lututnya dan menjadikan gundukan tanah di hadapannya menjadi tumpuannya. Perlahan ia menyiram mulai dai batu nisan hingga ujung badan makam tersebut dengan air mawar yang wanginya menusuk indra penciumannya. Tak lupa ia menaburkan bermacam-macam bunga di atas gundukan tanah tersebut.

“Selamat ulang tahun, Bunda.” lirih Gavra dengan suaranya yang sedikit bergetar menahan tangisannya yang sudah di pelupuk mata.

Ia mengusap baru nisan yang cukup berdebu itu dan membersihkannya dengan sisa air mawar. Air matanya jatuh ke atas tanah, Gavra menangis. Ia menunduk sambil memegangi batu nisan milik kuburan Bunda Alula. Gavra menumpahkan semua kesedihan yang ia tahan selama menunggu Alula.

“Maafin Gavra, Bun. Gavra gagal bahagiain anak perempuan bunda satu-satunya,” Gavra menatap nanar batu nisan di hadapannya sambil mengusapnya perlahan.

“Gavra?” panggil seorang perempuan dari belakang. Gavra pun langsung menoleh ke arah sumber suara yang sangat ia kenal. Gavra membelalakan matanya melihat perempuan yang kini berdiri di hadapannya dengan perur buncitnya yang terlihat menonjol dari kaosnya.

“Alula?” Gavra langsung berdiri dan mendekati Alula yang muncul tiba-tiba.

Alula tersenyum tipis dan mengangguk-angguk perlahan menatap Gavra yang menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Gavra menarik lengan Alula dan langsung membawanya ke dalam dekapannya. Gavra memeluk Alula sangat erat dan mengusap usap rambut panjang Alula.

“Jangan kenceng-kenceng peluk nya, mas. Perut aku,” Alula berbicara dengan susah payah karena Gavra memeluknya sangat erat. Ia menyadari bahwa perut buncit Alula menekan perutnya dan langsung melepaskan pelukannya.

Gavra menyeka air matanya dan langsung menunduk menghadap perut buncit Alula. Ia mengusap-usap perlahan perut Alula dan mengecupnya lembut. Alula yang memperhatikan Gavra pun tak kuasa lagi menahan air matanya. Ia sadar bukan hanya ibun yang meninggalkan luka untuk Gavra, tapi juga Alula yang pergi meninggalkannya.

“Ini ayah, Nak.” ucap Gavra di sela-sela kecupannya pada perut Alula.

Alula mengulurkan tangannya mengusap rambut Gavra yang terlihat lebih panjang dari biasanya. Gavra kembali menegakkan badannya dan menangkup wajah Alula dengan kedua tangannya, ia mengusap-usap pipi Alula kemudian mengecup keningnya lembut. Tak lama terdengar suara deheman lelaki dewasa yang membuat Gavra dan Alula sama-sama tersentak.

“Ehem! Sorry ganggu nih,” ucap Tama sambil berjalan mendekat ke arah Gavra dan Alula.

“Gav, ini Tama. Adiknya bunda yang paling kecil, aku tinggal sama dia selama di LA,” Alula memperkenalkan Tama kepada Gavra. Gavra mengangguk dan menjabat tangan Tama.

“Maaf aku gabisa lama-lama mas, tadi aku udah ke makam bunda sebelum kamu eh aku liat kamu dateng jadi aku samperin. Aku harus pulang dulu, karena aku juga baru sampe Jakarta. I’ll text you later,” Alula berpamitan sambil memegang lengan Gavra.

Can I hug you, just one more time?” Gavra melangkah mendekat dan mengulurkan tangannya menggenggam tangan Alula. Alula pun mengangguk mengiyakan.

Dengan cepat Gavra memeluk Alula dan mengecup pipinya sekilas. Gavra memeluknya sebentar dan mengusap pipi Alula setelah melepaskan pelukannya.

“Terima kasih sudah bertahan, Lul,”